Sarasehan ini dirancang untuk mempererat tali persaudaraan dari berbagai kalangan serta mendiskusikan kondisi kehidupan umat beragama sebagai sebuah upaya memperkuat kerukunan umat beragama dan berkeyakinan di wilayah Kabupaten Semarang. Kegiatan diselenggarakan dengan mengundang berbagai unsur pemerintahan dan kelompok masyarakat keagamaan seperti, Fatayat, Muslimat, Aisyiah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, akademisi yang berasal dari wilayah Kabupaten Semarang, Kecamatan Tuntang, Kecamatan Getasan, dan Kecamatan Banyubiru. Sekitar 40 orang undangan hadir dalam acara sarasehan sore itu yang digelar di Kampoeng Banyumili, Desa Gedangan-Kecamatan Tuntang yang kemudian diakhiri dengan buka puasa bersama.
Mengawali acara adalah sambutan Taruji-kepala desa Gedangan yang menyampaikan pentingnya memperkuat silaturohmi sebagai upaya memperkuat kerukunan umat beragama. Singgih Nugroho yang mewakili Percik – Salatiga mengemukakan bahwa Gedangan adalah tempat yang cukup istimewa jika melihat sejarahnya di tempat ini telah lahir Forum Gedangan, sebuah forum yang mempertemukan banyak pihak dalam rangka memperkuat kerukunan umat beragama dan berkeyakinan.
Kegiatan diskusi menghadirkan Muhamad Hanif, yang kerap disapa Gus Hanif (Dosen IAIN Salatiga, wakil ketua GP Ansor Kabupaten Semarang, dan Pengasuh Ponpes Edi Mancoro-Gedangan) dan Yani (Wakapolres Semarang) sebagai narasumber. Pertentangan dan penolakan umat yang memiliki keyakinan yang berbeda tentu merusak kerukunan umat beragama, demikian ungkap Syarafudin yang bertindak sebagai moderator sore itu sebelum mempersilahkan para narasumber menyampaikan paparannya.
Mengawali paparannya, Gus Hanif menyayangkan kejadian batalnya acara buka puasa bersama yang rencananya akan dilangsungkan di Gereja Katolik Ungaran. Oleh karenanya dalam rangka menjaga kerukunan umat beragama maka juga perlu memberi perhatian siapakah kalangan yang selama ini bertindak menjadi pemicu terjadinya kondisi intoleran. Memang tidak bisa dipungkiri munculnya kelompok fundamental dari masing-masing agama baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Namun pada dasarnya agama mengajarkan kebaikan dan kerukunan. Sangat disayangkan bahwa semangat gotong royong sudah mulai memudar seiring dengan mulai hilangnya masyarakat komunal. Namun keragaman yang ada di Indonesia tidak bisa dielakkan. Kerukunan adalah sebuah aset dan Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan bagi kita yakni spirit of life dan way of life yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Kita ditakdirkan dalam bentuk yang berbeda-beda dengan tujuan saling mengenal, saling menghargai satu sama lain. Kalau kita bicara di Jawa, Islam menjadi mayoritas. Namun jika di NTT Kristen dan Katoliklah mayoritas. Di Bali Hindu menjadi mayoritas. Memberikan rasa aman bagi orang pergi untuk beribadah supaya tidak takut menjadi tanggung jawab kita semua. Memang ada sejumlah faktor penyebab disharmoni seperti (1) merosotnya kepercayaan masyarkat terhadap pemerintah sebagai akibat dari krisis berbagai bidang selama bertahun-tahun sehingga memunculkan kecurigaan; (2) penganut agama terseret dalam persaingan, pertentangan bahkan permusuhan sebagai akibat kesenjangan sosial ekonomi. Untuk itu upaya merajut kerukunan perlu dibangun melalui (1) bersikap toleran; (2) meningkatkan wawasan kebangsaan; (3) menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tingkah laku.
Yani-Wakapolres Semarang ( 0812-7936-674) menyampaikan polisi mengedepankan rasa aman bagi masyarakat. Berbicara tentang kerukunan sebenarnya negara sudah mengatur hubungan kita dengan aturan yang berkaitan dengan kerukunan. Kerukunan juga erat kaitannya dengan sikap “sabar”, sabar untuk mengekang diri kita untuk melakukan hal yang frontal yang bisa merisaukan, tidak mengurusi urusan orang lain. Dari diri sendirilah yang wajib membangun kerukunan dan menolak cara-cara yang bisa menciptakan disharmoni, melalui hal-hal yang bisa kita lakukan di banyak hal : Bekerjalah banyak hal maka orang akan melihat dan Tuhan akan memberikan amanat kepada kita. Negeri ini harus dibangun tanpa adanya perpecahan dan disharmonisasi.
Menanggapi paparan dua narasumber, Kyai Tadzkir Mansyur juga mengemukakan pentingnya menjaga kerukunan lintas agama. Sikap sabar, pinter secara ilmu dan “pinter ngatur awak” menjadi modal untuk mendukung mengupayakan kerukunan. Yang kuat melindungi yang lemah. Sementara itu Sukodoyo (STAB Syailendra) sangat menyayangkan acara buka bersama yang dilakuan Ibu Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid yang batal diselenggarakan di Gereja Katolik Ungaran. Ia juga mempertanyakan upaya-upaya riil yang telah dilakukan polisi dalam rangka menjaga kerukunan umat beragama di Kabupaten Semarang. Dan berharap kita secara bersama-sama bisa menghidupkan kerukunan di Kabupaten Semarang. Sementara itu Muhamad Yusuf (Jombor) sangat menyayangkan jika ada oknum ustads memberikan tausiyah yang bisa menyinggung atau melukai bahkan memberikan informasi yang dirasakan kurang pas.
Yani (wakapolres Semarang) dalam menanggapi pertanyaan maupun tanggapan peserta menyampaikan bahwa dalam peristiwa batalnya buka bersama di Gereja Katolik Ungaran itu sebenarnya pihak kepolisian sudah melakukan berbagai upaya seperti inteligen polisi sudah berkoodinasi dengan panitia, sudah ada komunikasi dengan panitia dan Ciganjur menerangkan bahwa penentukan tempat ditentukan oleh panitia daerah, sudah berkomunikasi dengan pihak yang berkeberatan, dan tetap berupaya tidak muncul ekses ke semuanya. Tentu peristiwa tersebut adalah pelajaran bagi kepolisian agar lebih baik ke depannya. Sementara Gus Hanif menyampaikan bahwa kelompok-kelompok yang mengkampanyekan intoleran seringkali menggunakan media-media sosial (Facebook, dll), media elekronik sebagai media menyalurkan gagasan dan mempengaruhi. Untuk itu upaya yang sama perlu dilakukan oleh kelompok-kelompok yang pro-toleran, yaitu harus juga menggunakan media sosial dan elektronik untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang membangun toleransi di kalangan umat beragama untuk membangun kerukunan umat beragama.